Mayoritas ulama (Syafi’I, Hambali dan Maliki), telah menetapkan bahwa seorang perempuan tidak sah hukum menikah tanpa restu ayah dan tanpa adanya wali atau menikahkan orang lain (menjadi wali), baik ia gadis maupun janda. Apabila seorang perempuan menikah tanpa adanya wali maka pernikahannya tidak sah.
Hukum Menikah Tanpa Restu

Terdapat hadist yang mendasari pendapat ulama ini, yaitu Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
Tidak ada nikah (yang sah) kecuali dengan wali (HR. Abu Dawud no. 2085; Imam Nawawi dan Imam Al-Hakim menilai hadis ini shahih).
Hukum Menikah Tanpa Restu

Sementara menurut Imam Abu Hanifah, perempuan yang rasyidah (dapat membedakan hal yang baik dan juga hal yang buruk, serta tidak memiliki gangguan kejiwaan) boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali dan ia juga ia diperbolehkan untuk menjadi wali bagi perempuan lainnya.
Pendapat tersebut berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا
Siapapun perempuan yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal. Jika laki-laki (yang menjadi suaminya) tersebut berhubungan badan dengannya, maka perempuan tersebut berhak mendapatkan mahar sebab laki-laki tersebut menganggap halal kemaluannya (HR. Tirmidzi no. 1102).
Hukum Menikah Tanpa Restu

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami juga menambahkan bahwa apabila terdapat seorang perempuan yang menikah dengan laki-laki tanpa adanya wali, yakni dengan cara ia menikahkan dirinya sendiri di hadapan dua orang saksi dan hakim tidak membatalkan pernikahan tersebut, kemudian mereka melakukan hubungan badan, maka suaminya tidak dikenakan had berzina.
Namun, ia memiliki kewajiban memberikan mahar mitsil ( yaitu mahar yang nilainya disesuaikan dengan kedudukan sosial pihak perempuan dan sesuai dengan adat yang berlaku). Selain itu, maka mereka harus dipisahkan.
Hukum Menikah Tanpa Restu

Syaikh Al-Khathib Asy-Syirbini, ulama mazhab Syafii, menyebutkan bahwa ayah merupakan wali yang paling utama bagi seorang perempuan. Apabila ayah tidak ada, maka yang menjadi wali adalah kakek dari garis ayah. Sedangkan kakek dari garis ibu tidak bisa menjadi wali.
Selama ayah masih ada, maka kakek, saudara laki-laki, atau paman tidak bisa dijadikan sebagai wali. Sehingga dibutuhkan restu dari orang tua calon istri, khususnya ayah, karena ayahlah yang akan melangsungkan akad dengan calon pengantin laki-laki. Adapun restu dari ibu, namun hal ini tidak menjadi syarat atau rukun nikah.
Ketika calon istri adalah seorang janda, maka juga harus terlebih dahulu meminta izin kepada ayahnya sebelum menikah. Kemudian ketika ayahnya hendak menikahkannya, maka sang ayah juga harus meminta persetujuan dari anaknya tersebut. Jika anak perempuannya yang janda tersebut menolak dinikahkan, maka ayah tidak diperkenankan menikahkannya dan pernikahan tersebut tidak sah.
Hukum Menikah Tanpa Restu

Bagaimana jika ayah menolak untuk menjadi wali nikah?
Dalam hadis riwayat Imam Tirmidzi disebutkan:
فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
Jika para wali berselisih, maka penguasa adalah walinya perempuan yang tidak memiliki wali (HR. Tirmidzi no. 1102; Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani menilai hadis ini shahih).
Apabila seorang ayah sebagai wali menolak (‘adlal / عَضْل) menikahkan anak perempuannya, maka walinya dapat berpindah ke wali hakim. Inilah yang dimaksud dengan “para wali berselisih” dalam hadis tersebut. Yang dimaksud dengan hakim ialah hakim yang bertugas di pengadilan atau pejabat yang diberi kewenangan dalam mengurus akad nikah, atau kalu di Indonesia dapat di walikan oleh wali hakim dari KUA.
Syaikh Al-Khathib Asy-Syirbini telah menguraikan pendapatnya mengenai seorang ayah sebagai wali nikah dianggap ‘adlal apabila anak perempuannya yang telah baligh dan berakal memintanya untuk dinikahkan dengan seorang laki-laki yang sederajat (se-kufu’) namun ia menolaknya.
Apabila seorang anak perempuannya meminta dinikahkan dengan laki-laki yang tidak sederajat, maka sang ayah boleh menolaknya. Meskipun demikian, ayah tidak boleh menolak dengan alasan mahar yang sedikit jika anak perempuannya telah rela dengan jumlah mahar tersebut, karena mahar adalah hak istri.
Kemudian jika anak perempuannya mengklaim bahwa calon suaminya adalah orang yang sederajat, namun ayahnya menilai bahwa ia tidak sederajat, maka kasus seperti ini dapat dibawa ke pengadilan.
Jika hakim memutuskan bahwa keduanya memiliki derajat yang sama, maka ayah harus menikahkannya. Dan apabila ia menolak menjadi wali, maka wali hakim dapat menggantikannya menjadi wali nikah. Namun, jika hakim memutuskan bahwa calon suaminya tidak sederajat, maka sang ayah tidak wajib menikahkannya dan hakim juga tidak bisa menjadi wali.
Keputusan ‘adlal atau tidaknya seorang wali merupakan suatu kewenangan dari wali hakim. Untuk itu, wali, calon istri, dan calon suami harus hadir ketika pengadilan di langsungkan. Jika hakim memutuskan bahwa wali harus menikahkannya, namun ia justru menolak atau tidak bersedia hadir, maka ia ‘adlal. Jika ‘adlal, maka hakim yang diperbolehkan untuk menikahkan. Inilah yang disebut dengan bentuk pernikahan tanpa restu orangtua yang sah.
Semua penjelasan mengenai wali di atas adalah merupakan wali dari calon istri. Sedangkan wali dari calon suami tidak menjadi rukun ataupun sebagai syarat sahnya menikah. Kecuali bagi calon suami yang belum baligh atau telah dewasa tetapi memiliki gangguan jiwa.
Sehingga seorang laki-laki dewasa dan berakal yang menikah tanpa restu atau tanpa restu kedua orang tua tetaplah sah, selama rukun dan syarat lainnya terpenuhi.
Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Pasal 19 tertulis:
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.
Pasal 20 ayat (2) tertulis:
Wali nikah terdiri dari:
- Wali nasab;
- Wali hakim
Selanjutnya Pasal 23 tertulis:
- Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.
- Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Kesimpulan
NaishaMate, sangat perlu Kamu ketahui bahwa salah satu rukun nikah adalah wali bagi perempuan. Wali nikah yang utama adalah ayah, jika ayah tidak ada maka walinya kakek dari pihak ayah, lalu dapat juga saudara laki-laki, lalu paman dari pihak ayah.
Oleh karena itu, restu dari ayah sangatlah penting untuk melangsungkan sebuah pernikahan. Namun, apabila ayah tidak merestui pernikahan dan tidak ingin menjadi wali, maka masalah tersebut harus dibawa ke pengadilan agama.
Apabila hakim telah memutuskan bahwa calon pengantin laki-laki sederajat (se-kufu’), maka ayah harus menjadi wali nikah bagi anak perempuannya. Dan apabila ayah masih menolak menjadi wali nikah, maka perwalian tersebut digantikan oleh wali hakim.
Adapun restu dari orang tua tidak berlaku bagi seorang janda, karena janda berhak memutuskan untuk dirinya sendiri.
Wallahu A’lam bi Ash-Shawabi.
Referensi: Ensiklopedi Fiqih Islam Kuwait, Ibnu Hajar Al-Haitami; Tuhfah Al-Muhtaj, Al-Khathib Asy-Syirbini; Mughni Al-Muhtaj, Ash-Shan’ani; Subul As-Salam, Ibrahim Al-Baijuri; Hasyiyah Al-Baijuri ‘ala Syarh Ibn Qasim.